Selasa, 25 Mei 2010

“Dyah – Sahabat Kecilku“

“jam 2 malam di sebuah rumah terdengar bunyi pintu yang terdecit. Tidak lama kemudian, terdengar suara teriakan perempuan dari dalam rumah. Ke esokan harinya, ditemukan se sosok mayat perempuan, di atas meja terdapat puntung rokok”

Sebut saja dengan nama Dyah, seorang mahasiswi sekaligus sahabat terdekatku, kami berdua berteman sejak kecil di Panti Asuhan dulu. Lalu kemudian saya di adopsi oleh sebuah keluarga kaya dari Jakarta. Kami pun terpisah sewaktu SD, dikarenakan saya hijrah ke Jakarta bersama keluarga yang mengadopsiku. Sedangkan Dyah masih harus tinggal di Panti Asuhan dengan berpuluh-puluh anak sebatang kara lainnya.

Kelas 6 SD tepatnya saya berpisah dengan Dyah dari Panti Asuhan terbesar di Kota Garut itu. Sejak saat itu saya tak pernah lagi bertemu dengan Dyah, hanya beberapa pucuk surat yang aku kirimkan ke Dyah, begitupun dengan balasan surat Dyah. Waktu pun terus berlalu hingga aku tamat SMU. Sewaktu itu diriku pun sejenak berfikir untuk jalan-jalan ke Garut untuk bertemu dengan Dyah. Hingga waktu itupun tiba, saya bersama keluarga yang telah mengadopsiku ke Garut. Ayah dan Ibu angkat ku langsung ke bagian yayasan Panti Asuhan, sedangkan saya masih asyik berkeliling dan memutari panti ini, tak banyak yang berubah dari panti ini. Saya pun langsung menuju lorong kamar yang aku tempati bersama Dyah sejak kami kecil dulu. Tapi ternyata penghuni kamar tersebut bukan Dyah. Saya lalu berlari ke bagian kantor yayasan Panti Asuhan, dan ternyata Ayah dan Ibu menatap ku dengan wajah murung. Ayah dan Ibu lebih duluan mengetahui tentang Dyah. Menurut Ibu Ani, salah satu pegawai di yayasan mengatakan bahwa Dyah tidak lagi tinggal dipanti asuhan ini sejak SMU kelas 1, Dyah memilih tinggal sendiri dan mencari uang sendiri.

Dyah meninggalkan panti ini saat keadaan panti sangat kacau, dimana pada saat itu banyak masalah-masalah komplit yang menimpa panti, di sisi lain kami dari pihak yayasan sudah tidak lagi menerima bantuan-bantuan dari donatur tetap yayasan ini. Dan dengan terpaksa Dyah memprakarsai untuk membuka usaha-usaha jualan kue keliling, dan semua anak panti ikut berpartisipasi membantunya, Dyah melakukan hal ini tepat pada zaman SMU kelas 1. Singkat cerita dari Ibu Ani, Dyah lalu mengalami depresi berat karena dinyatakan bahwa Dyah tidak naik kelas ke kelas 2, “karena Dyah lebih mementingkan keadaan dan kehidupan di Panti Asuhan ini”, tegas Ibu Ani.

Nah, dari peristiwa itulah Dyah memutuskan kepada salah satu anak panti untuk mengkoordinir jalannya proses dagang kue keliling. Dyah pergi tanpa pamit kepada siapapun di panti ini, dan sampai sekarang pun kabar nya tak pernah ada.

Setelah di ceritakan lebih rinci peristiwa tentang Dyah, saya dan orang tua angkat ku pun memutuskan untuk mencati Dyah sampai ketemu. Diriku pun berkata dalam hati jika saya sangat rindu dengan Dyah, seorang sosok sahabat kecil yang amat sangat berani mengambil resiko. “Dyah, dimana kah dirimu sekarang”, tambahku dalam hati.

Sembari menunggu pengumuman kelulusan ku di perguruan tinggi, aku dan ayah angkatku tiap minggu kembali ke Garut demi mencari Dyah. Tiap minggu pun kami ke Panti Asuahan, dan meminta tolong orang yang mengahafal jalan-jalan yang ada di kota itu. Sebulan pun telah berlalu dengan hasil yang kosong, nihil semuanya, jejak nya pun sama sekali tak terdeteksi. Ayah dan orang panti sudah capek dan ingin menghentikan pencarian ini. Berbagai cara telah kita lakukan dimulai dengan melaporkan kepada pihak kepolisian sampai memasang foto-foto Dyah di tepi-tepi jalan dengan tag-line “orang hilang”, door to door pun juga kami lakukan bersama anak-anak panti.

Pengumuman kelulusan ku pun tiba, dan namaku pun tercantun di kertas yang berisi ratusan nama itu. Setelah melihatnya di sebuah surat kabar, aku langsung ke universitas yang aku lulusi, hanya seorang ibu, tak ditemani dengan ibu dan ayah karena mereka berdua sedang keluar kota. Kira-kira pukul 10.00 pagi tepat, dan itupun sudah benyak antrian calon mahasiswa baru yang ingin mendaftar ulang. Dan ketika melihat antrian itu aku bertmbah semngat untuk mendatar ulang dengan harapan semuanya cepat terselesaikan dan kemudian berangkat lagi untuk mencari sahabat kecilku, “Dyah”.

Sudah 30 menit aku berdiri di depan pintu antrian masuk, tapi aku tetap belum bisa masuk ke dalam ruangan dikarenakan banyaknya tumpukan orang di deretan depanku, dan anehnya lagi orang yang tepat berada di depanku tak pernah menoleh sekalipun sejak 30 menit yang lalu. Rasa ingin tahu ku pun timbul dan spontan bertanya kepadanya.

“Permisi Mbak,,,maaf mbak lulus di fakultas mana ?”,tanyaku reflex.

“Oh, iya…Alhamdulillah, saya lulus di psikologi!!!,mbak dimana??”,jawabnya sambil menoleh dan menatapku tajam.

Akupun memeperhatikan lebih dalam tentang orang ini, dan aku berkata

“Aku juga lulus di psikologi, maaf boleh kenalan….nama saya Nabila Purwaningrat, dipanggil Nabil”, perkenalanku ramah.

“Nama saya Dyah,,,Dyah Ayu Sari”, jawab orang itu dengan lantang.

Aku pun berteriak, siapa Dyah…”Dyah, kamu masih mengenalku kan?. Aku mencarimu semenjak 2 bulan lalu setelah aku lulus SMU”, ucapku dengan sedikit heboh.

Dyah pun mulai meneteskan air matanya perlahan dan kemudian terus mengalir dan mebasahi pipinya. Dyah langsung memelukku dan mengenggamku seperti tak ingin lepas dan jauh lagi dariku, dan kemudian berkata “Nabil, teman kecilku,,,sekarang kita dipertemukan lagi dan saya mohon jangan tinggalkan aku lagi “, ucapnya dengan suara terbata-bata dengan beberapa tetesan air mata.

Pertemuan itu membuatku amat sangat bahagia dan sepulang mendaftar ulang ku ajak Dyah untuk berjalan-jalan lalu beristirahat di rumahku. Dyah tak mau cerita banyak tentang kehidupannya setelah meninggalkan panti asuhan. Kita berdua lebh banyak bercerita tentang masa depan, kami menginginkan masa depan yang bahagia dan cerah seperti anak-anak yang lain yang mempunyai keluarga.

Ku ajak Dyah untuk tinggal bersamaku di rumah, tapi malah Dyah yang mengajakku tinggal di kost-kostannya. Akupun langsung ingin ke kostanya untuk menginap beberapa hari ini, lagian di rumah juga tak ada ayah dan ibu angkatku. Setiba dikamar kost akupun terheran ini bukan kamar kost-kostanya Dyah, ini sudah merupakan sebuah istana kecil menurutku.

“Maaf tadi aku sedikit berbohong dengan mu, ya ini rumahku, aku berusaha memperolehnya dengan bekerja sejak lari dari panti asuhan, pendaftaran kuliahku pun aku biayai dan kumpulkan sendiri”, penjelasan Dyah.

Seperti biasa Dyah tak pernah berubah dari kecil dia selalu memberikan ku surprise yang menurutnya hanya hal-hal biasa dan kecil. Itulah Dyah tak pernah sombong dengan apa yang dia punya, dimulai dari kepintarannya sampai kemandiriannya. Aku banyak belajar dari Dyah, bagaimana kemudian kita bertahan hidup tanpa kasih sayang orang tua kita, orang tua yang telah pergi entah kemana ataupun telah meninggal. Orang tua Dyah sebenarnya masih hidup, hal itu aku ketahui saat dipanti asuhan dulu. Aku melihat seorang ibu yang berbicara dengan Dyah di taman, akupun tak sengaja mendengar pembicaraan Dyah dengan ibu itu, seingatku ibu itu ingin pergi cari uang dulu dan kemudian akan datang lagi menjemput Dyah, sedangkan permasalahan dengan ayahnya, aku tak begitu tahu. Dyah selalu menyembunyikan hal itu padahal aku sudah tahu. Dyah tak ingin melihat banyak orang sedih daan kasihan melihat kisah hidupnya. Dyah tetap tegar walaupun aku tahu kalauhati nya bak danging yang teriris dan mulai luka. Dyah,,Dyah,,selalu ingin melihat orang disekitarnya bahagia dan tersenyum, ia selalu ingin membahagiakan orang-orang dengan canda, tawa, dan ide-ide nakal dari buah pemikirannya yang sangat unik menurutku.

Masa ospek dan perkuliahan pun dimulai, aku dan Dyah ternyata terpisah kelas, Dyah di tempatkan di kelas A dan aku di kelas B. Intensitas pertemuan kami di kampus pun mulai berkurang, kecuali jika ada kelas umum. Tapi sering kali aku menyinggahi rumah Dyah jika pulang kuliah dan tak ada tugaskami masih sering jalan-jalan bersama, share dan membuat tugaskuliahpun sama-sama.

Tapi 3 bulan belakangan ini setelah kami mengurus KRS semester 6, aku tak biasa lagi melihat batang hidung Dyah, kata teman-teman kelasnya Dyah lagi ada masalah dengan keluarganya. Anehnya Dyah tak pernah cerita kepadaku, seperti biasa sifat anak ini selalu tertutup jika ada masalah sedih-sedih nya, Dyah—Dyah…pikirku dalam hati.

Tak menunggu banyak waktu lagi setelah kelas siang ku usai, akupun langsung berangkat menuju kerumah Dyah. Sesampai di depan rumahnya ada banyak mobil dan beberapa hiasa janur-janur kuning terlihat di halaman rumahnya, di pasangi tenda-tenda pesta yang megah dan beberapa ucapan selamat yang terpampang, akupun masuk ke dalam halaman rumah lalu duduk di beberapa deretan kursi tamu. Tak lama kemudian aku masuk ke dalam rumah, dan mengatakan kepada satpam yang sedang berjaga-jaga di depan pintu rumah,

“Aku temannya Dyah, kalian biasa lihat aku kan, saya yang biasa bermalam disini”, jelasku kepada para satpam.

Aku masuk dan ternyata didalam rumah Dyah sangat indah dengan dekor-dekor berkilauan hijau-putih, yah…warna itu warna favorit Dyah dari kecil. Sembari aku masuk dan mengelilingi rumah yang dipadati oleh beberapa tamu, aku pun melihat sosok ibu yang pernah datang ke panti asuhan menemui Dyah kira-kira 23 tahun yang lalu, tak banyak yang berubah dari ibu itu, hanya rambut nya saja yang sduah beruban dan perwakan wajahnya yang mulai keriput. Tak salah lagi, aku tak mungkin salah itu lah ibu Dyah, ibu yang menemui Dyah dipanti dan berjanji akan membawa pulang Dyah. Aku tak bisa bicara dan berfikiran negative sebelum mendengar perkataan dari mulut Dyah sendiri tentang siapa sebenarnya ibu itu.

2 putaran aku mengelilingi rumah, dan kemudian keluarlah Dyah dari kamarnya berbusanakan gaun yang putih yang indah dengan hiasan berwarna hijau di rambutnya, sangat cantik, ditamabah lagi dengan make-up nya yang minimalis. Perawakan muka Dyah sangat cantik dan berubah, aura nya semakin terlihat. Dyah melihatku dan memberikan kode mata dan berucap tanpa suara, “duduk dulu, sebentar aku jelaskan, ok”, tafsiranku terhadap ucapan tanpa suara Dyah.

Dyah pun naik ke atas panggung kecil yang ada di ruang tamu rumahnya, dan kemudian di susul seorang cowok yang agak sedikit tua dari Dyah, yah…kira-kira berumur 30 tahunan, dan kemudian disusul oleh ibu tua yang dulu aku lihat dip anti asuhan. Dan ternyata Dyah bertunangan dan melakukan tukaran cincin dengan seorang cowok tadi. Perasaan bahagia menyelimutiku saat melihat mereka bertukaran cincin. Walaupun saya tahu kalau ada perasaan yang menganjjal dari diri Dyah, senyumnya tak selebar ketika dia bahagia, Dyah pasti hanya menjual senyum palsu nya. Aku tahu itu.

Se-jam kemudian acara pun usai, sisa tukang-tukang dekor yang mulai membersihkan rumah Dyah. Cowok calon suami Dyah pun pulang bersama ibu tua yang dulu dipanti asuhan itu. Dyah memanggilku untuk masuk ke kamarnya dengan raut muka yang ingin bercerita dengan ku. Aku pun masuk dikamar Dyah, lalu Dyah langsung mengunci pintu kamarnya.

Seusai mengunci pintu, Dyah mendekap dan memelukku masih dengan gaunnya tadi, memelukku dengan erat den kemudian mencucurkan banyak air mata sambil berkata, “ Dua Puluh Tiga Tahun Nabil….”, “Dua Puluh Tiga Tahun…kata itu terus terucap sambil terbata-bata dikarenakan nangis Dyah yang amat nyessek, akupun ikut meneteskan air mata, dan meminta Dyah untuk menenangkan dirinya lalu bercerita semuanya tentang nya kepadaku.

Dyah memulai ceritanya, begini Nabil,,,ibu tua yang kau lihat tadi di atas panggung itu adalah ibu kandungku, kamu pasti pernah melihatnya dipanti asuhan sekitar 20 tahun yang lalu, karena aku sempat melihat sedikit pakaian dan rambutmu dari balik tembok ketika kita masih kecil dulu. Sejak itu aku tak pernah lagi bertemu dengan ibuku. Aku kemudian bertemu dengannya ketika resto kecil-kecilan ku launching saat kita tamat SMU, usaha yang telah saya bangun dengan hasilkeringatku sendiri yang berawal dari menjual kue-kue dip anti asuhan dulu.

Saat ibuku datang di resto, dia pun memperkenalkan dengan orang yang sedikit muda dari ibuku, dan ternyata ibuku kawin lagi sejak ayah kandungku meningal dunia waktu aku berumur 3 tahun, saat ibu datang menitipakanku dipanti asuhan. Semenjak itu hidupku mulai terusik dengan gangguan-gangguan mereka. Mulai dari kehidupan ibu yang aku tahu setelah aku memata-matainya ternyata ibuku seorang germo, kata Dyah sambil menangis lagi.

Percakapanku pun terhenti sejenak dan berusaha meneangkan Dyah, seperti biasa tangisan Dyah selalu dengan nada nyessek dan sakit hati bercampur kecewa. Setelah beberapa menit kemudian, Dyah pun melanjutkan ceritanya, sedangkan ayah tiri ku itu seorang pejudi dan pemabuk berat. Aku sangat heran dengan ibu, dimulai dari dia tak ingin merwatku dan kemudian menitipkanku dipanti lalu sekarang ibuku pun ingin merusaka cita-cita dan masa depanku.

Saya juga ingin membuat ibu saya bahagia Nabil,,,,walaupun aku tahu kalau ibu ku jahat. Dan kembali lagi Dyah mencurahkan air matanya dan mendekapku. Ditambah lagiibu menjodohkanku dengan seorang penjudi yang kaya raya menuruntnya, calon suamiku itu pemabuk berat seperti ayah tiriku, Nabil….sampai kapan saya hidup menderita dan sengsara.

Kali ini lama baru Dyah ingin menghentikan tangisannya, kira-kira 6-7 menit. Setelah itu aku langsung member saran ke Dyah, “Dyah…ikuti kata hatimu sayang,,ini hidupmu, bukan hidup ibumu”, jawabku sambil memotivasi Dyah. “Kamu harus buat perhitungan dengan ibu dan ayah tirimu”, “sudah cukup penderitaanmu di masa lalu sayang, bangkit lah Dyah, come on guys, Dyah yang saya kenal bukan Dyah yang seperti sekarang, Dyah yang saya kenal Dyah yang pemikirannya lebih dari semua orang, ok, bangkit Dyah”, saranku ke Dyah dengan tegas.

Dua hari kemudian Dyah menelponku dan bercerita tentang dia sudah membuat perhitungan dengan ibu dan ayah tirinya serta dengan calon suaminya yang note bene hampir sama dengan sifat dan sikap ayah tirinya.

Aku pun merasa bangga dengan sikap Dyah. Tapi sehari kemudian aku menonton acara live di sebuah stasiun tv yang memperlihatkan rumah Dyah dengan kata-kata ”telah ditemukan mayat wanita di kamarnya sendiri yang berlumuran darah diduga wanita ini telah diperkosa lalu dibunuh dan juga didapatkan beberapa punting rokok di atas meja yang ada di dalam kamar wanita ini”, tanpa menunggu lama aku pun langsung ke rumah Dyah, ada banyak orang dan beberapa police line dan beberapa warga yang ingin melihat rumah Dyah, akupun langsung masuk dan melapor ke seorang polisi dan berkata “Aku adalah teman dari pemilik rumah ini, izinkan saya masuk, Pak,”pintaku. Dan aku pun diberikan izin dan langsung masuk ke dalam rumah Dyah.

Tak bisa lagi berkata-kata, aku hanya terdiam terpaku dan menangis sambil berteriak menyebut nama Dyah. Akupun bergegas menyuruh polisi untuk membawa mayat Dyah ke rumah sakit dan melakukan otopsi. Dan setelah itu aku memanggil satpam dan melaporkannya ke polisi, proses panjang ini aku lakukan demi mengetahui siapa pelaku dibalik kematian sahabatku. Hasil otopsi telah keluar dan ternyata memang benar Dyah diperkosa lalu dibunuh oleh beberapa orang. Di persidangan telah dimunculkan beberapa saksi-saksi mata dan semuanya sudah jelas ditemukan beberapa tersangka yang tidak lain adalah calon suami Dyah dan beberapa orang suruhan ayah tiri Dyah. Ibu nya pun termasuk dalam status tersangka. Calon suami dan ayah tiri Dyah sudah dijebloskan ke dalam penjara tapi ibu Dyah masih buron. Sedangkan mayat Dyah telah aku kuburkan.

Aku mencari ibu Dyah yang buron, dan nekat aku bertemu dengannya dan berbicara lalu membunuh ibu kandung Dyah, ibu kandung sahabatku yang tega membunuh anaknya sendiri. Telah kubunuh ibu tua itu, ku balaskan dendam dan sakit sahabatku. Lalu aku melaporkan diriku ke pihak kepolisian, dan akupun di penjara. Sebuah novelku yang berjudulkan “Telah kubunuh ibu kandungnya yang jahat demi membalaskan dendam dan sakit seorang sahabat kecilku”, launching di Lapas. Dan kemudian aku diberi keringanan tahanan. Dan sekarang aku masih tetap menangis, terdiam, termenung di bawah pusaran nisan Dyah, Dyah sahabat kecilku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar